Ibu bagi Keluarga, Ibu bagi Dunia


Perempuan dengan segala keindahan dan kompleksitas kehidupannya merupakan topik pembahasan yang tiada habisnya. Banyak isu penting yang berkaitan dengan dinamika kehidupan sosial yang melibatkan perempuan sebagai tokoh sentralnya. Tidak sedikit di antaranya merupakan isu-isu memprihatinkan yang menampilkan perempuan sebagai korban dari tindakan tidak manusiawi karena inferioritasnya dalam posisi gender.

Sebut saja kasus yang baru-baru ini terjadi, perempuan belia yang dinikahi oleh pejabat pemerintah kemudian diceraikan hanya dalam waktu yang singkat ketika tidak lagi disukai. Kasus ini tentu saja bukan satu-satunya kasus yang melibatkan perempuan. Dalam kurun waktu satu tahun terakhir marak terjadi kasus pelecehan terhadap perempuan yang dilakukan di angkutan umum di beberapa kota besar.

Deretan kasus lain juga tak kalah panjangnya, antara lain pelecehan seksual dan penyiksaan terhadap TKW di beberapa negara, hingga kasus penjualan manusia (trafficking) yang menjadikan perempuan sebagai korban. Kasus yang terjadi bukan hanya dalam lingkup nasional, namun juga berjumlah besar dalam skala global. Data United Nations Human Rights mencatat bahwa jumlah korban trafficking secara global telah meningkat drastis dengan usia korban yang semakin belia. Diperkirakan hingga tahun 2009 jumlah korban trafficking di seluruh dunia mencapai 12,30 juta orang dengan 20% dari jumlah korban tersebut terdiri dari anak-anak, sedangkan mayoritas korban adalah perempuan dan gadis-gadis belia. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Gupta, jumlah korban tersebut lebih besar dari jumlah korban perbudakan di abad 19 (http://ohchr.org).

Belum lagi sejumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menambah suram potret ketidakadilan yang dialami perempuan saat ini. Mitra Perempuan Women’s Crisis Center mencatat data statistik pada tahun 2011 telah memberikan layanan pengaduan dan bantuan terhadap 209 orang perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan, 90,4% di antaranya merupakan kasus KDRT di wilayah sekitar Jabodetabek (http://perempuan.or.id). Deretan panjang kasus-kasus tersebut menunjukkan betapa perempuan seringkali hanya dipandang sebagai objek, dan bahkan tak jarang pula dianggap sebagai komoditas. Kultur sosial masyarakat yang mayoritas bersifat patriarki tak jarang menempatkan perempuan hanya sebatas pihak inferior. Masyarakat telah terlanjur melekatkan dengan kuat stigma ‘keindahan’ dan ‘kelemahan’ pada diri perempuan. Tradisi dan sistem sosial budaya turut andil memperkuat identifikasi tersebut dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat.

Sungguh ironis jika kita kaitkan dengan peringatan Hari Ibu yang merupakan penghormatan terhadap perempuan dalam perannya sebagai ibu. Hari Ibu diperingati tidak hanya secara nasional, namun juga secara internasional. Hari Ibu di Amerika Serikat dan di negara-negara lainnya diperingati setiap hari Minggu kedua di bulan Mei, sedangkan Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Di Indonesia, Hari Ibu diperingati secara nasional setiap tanggal 22 Desember. Bermula dari Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Gedung Dalem Jayadipuran, Yogyakarta. Kongres ini menjadi peristiwa sejarah yang penting bagi bangsa Indonesia karena saat itu adalah awal tercetusnya penyatuan ide dan pemikiran berbagai organisasi perempuan di mana kaum perempuan Indonesia berkontribusi secara intelektual dalam memperjuangkan isu-isu krusial demi perbaikan nasib perempuan pada khususnya dan kemajuan bangsa pada umumnya dalam hal pendidikan, kesehatan, sosial dan politik.
Perempuan dan kompleksitas perannya yang memberikan kontribusi positif bagi masyarakat luas kemudian dapat menunjukkan bahwa stigma inferioritas yang dilabelkan kepada perempuan adalah kesalahan yang perlu dikoreksi. Persepsi masyarakat mengenai stereotype perempuan sebagai mahluk yang lemah juga perlu diperbaiki.

Kesetaraan Gender
Perbedaan peran dalam gender adalah produk budaya yang telah mengakar kuat pada masyarakat dan diinternalisasi secara turun-temurun melalui tradisi. Masyarakat telah memberi batas tegas antara peran laki-laki dan perempuan dalam fungsi sosialnya. Laki-laki berperan sebagai suami, bertugas dalam urusan mencari nafkah dan urusan-urusan lain di luar rumah tangga. Sedangkan perempuan berperan sebagai istri yang bertugas dalam pengelolaan internal rumah tangga, seperti mengasuh anak, menyediakan makanan, membersihkan rumah, dan mengelola sejumlah nafkah yang telah diberikan suami.

Dengan kata lain, laki-laki bertanggung jawab dalam ranah publik, sedangkan perempuan berperan dominan dalam ranah domestik. Tidak ada yang salah dalam pembagian peran ini, namun penafsiran yang sempit seringkali menggiring persepsi masyarakat pada lemahnya posisi tawar perempuan terhadap laki-laki, hingga tak jarang berujung pada pelecehan dan penindasan. Dalam pembagian peran ini, laki-laki dengan sifat maskulinnya sering dianggap sebagai pihak yang lebih tinggi (superordinate), sedangkan perempuan dengan feminitasnya dianggap sebagai bawahan yang lebih rendah (subordinate).

Adapun konsep kesetaraan gender sesungguhnya dimaksudkan untuk membangun mekanisme pembagian peran agar lebih efektif. Pola relasinya tidak berbentuk stratifikasi vertikal, namun bersifat partnership yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang bersinergi secara horizontal. Sebagai mitra, tentu kedua belah pihak harus bekerja sama dengan solid dan menghormati satu sama lain.

Perempuan dan Peran Ganda
Posisi perempuan sebagai ibu dalam suatu rumah tangga tentu bukan hal yang mudah. Sesungguhnya posisi ini menempatkan perempuan bukan sebagai servant namun sebagai manager yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan rumah tangga. Fungsi dan perannya dalam posisi ini tentu harus dijalankan secara profesional dan sepenuh hati. Posisi ini pun memuat peran ganda (multiple roles) yang juga memerlukan keahlian ganda (multiple skills) karena pada saat yang bersamaan seorang perempuan dapat menjalani berbagai profesi yang berbeda.

Sebagai seorang ibu, perempuan bertugas untuk mengasuh dan mendidik anak-anak. Dalam hal ini perempuan berperan sebagai guru, mengajarkan dan mencontohkan hal-hal yang baik bagi anak-anaknya, sehingga perempuan pun dituntut untuk cerdas tidak hanya secara intelegensia, namun juga secara emosional dan spiritual. Seorang ibu juga dituntut untuk memiliki kemampuan mengelola aspek finansial keluarga. Dibutuhkan keterampilan untuk mengalokasikan anggaran dan mengefisiensikan pengeluaran agar pendapatan yang diterima dapat mencukupi seluruh kebutuhan keluarga.

Atas alasan ekonomi, bahkan sering kali perempuan bukan hanya berperan untuk mengelola keuangan, namun juga sebagai tulang punggung yang harus mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga. Pada kondisi seperti ini seorang ibu juga dihadapkan pada peran ganda di mana ia semakin tertuntut untuk dapat menjalankan perannya di ranah publik secara profesional tanpa meninggalkan tanggung jawabnya di ranah domestik.

Di beberapa negara yang berada di bawah garis kemiskinan, mayoritas perempuan berperan dominan menopang perekonomian keluarga, bahkan juga perekonomian negara secara agregat. Muhammad Yunus, peraih hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006 dan pencetus konsep Grameen Bank dalam bukunya yang berjudul Banker to the Poor: Micro-lending and the Battle against World Poverty mengungkapkan bahwa banyak definisi kemiskinan yang mengabaikan perempuan dan anak-anak padahal perempuanlah yang banyak berperan melawan kemiskinan.

Di Indonesia dan di seluruh dunia, tidak sedikit pula perempuan yang berperan sebagai penopang perekonomian. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10 tenaga kerja global adalah perempuan. Data lain mencatat bahwa sekitar 70% dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI), atau sejumlah 4,2 juta perempuan Indonesia adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang mencari nafkah di luar negeri (Suara Merdeka, 3 Oktober 2012).

Perempuan sebagai Agen Perubahan
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Keluarga yang dikelola dengan baik akan menghasilkan anggota masyarakat yang baik ketika mereka berinteraksi secara luas dalam kehidupan sosial. Peran ibu yang baik dalam keluarga tentu akan menghasilkan generasi-generasi madani yang akan membawa perbaikan bagi umat manusia di seluruh dunia.

Sejatinya, setiap perempuan – baik secara biologis maupun dalam konteks sosial – adalah ibu bagi lingkungan sekitarnya. Seorang ibu adalah tokoh teladan yang penuh kasih sayang. Karakternya merupakan penggabungan antara kelembutan dan ketegasan. Keberadaannya secara ideal akan mampu memberikan kedamaian dan perbaikan bagi masyarakat di sekelilingnya yang secara kumulatif akan membawa kebaikan bagi keseluruhan umat manusia di dunia. Maka penindasan, pelecehan, dan perendahan terhadap perempuan merupakan tindak kejahatan dan tragedi bagi kemanusiaan. ***

*Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar pada 21 Desember 2012


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *