Membangun Good Governance


Pasca krisis ekonomi berkepanjangan yang berujung pada era reformasi ternyata tidak membuat bangsa Indonesia serta merta terbebas dari berbagai masalah, justru tantangan yang dihadapi saat ini makin pelik dan kompleks. Terungkapnya berbagai skandal besar seperti kasus BLBI, bailout Bank Century, mafia hukum dan peradilan, mafia pajak, hingga kasus plesiran narapidana yang bebas keluar masuk rumah tahanan, serta berbagai tindakan KKN yang fenomenal lainnya telah menyadarkan kita betapa rapuhnya pelaksanaan tata kelola yang ada di sektor bisnis, hukum, publik, maupun pemerintahan di Indonesia selama ini.
Good governance kemudian menjadi wacana yang sangat penting untuk memperbaiki keterpurukan yang telah terjadi. Bahkan di akhir tahun 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menempatkan agenda reformasi birokrasi dan tata kelola di urutan pertama dari 11 program prioritas pemerintah di tahun 2011 yang ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, terutama di sektor riil. Sebuah program, sebaik apapun perencanaannya, tidak akan membawa perbaikan jika tidak ditunjang oleh implementasi yang serius.

Prinsip Good Governance
Secara definitif, good governance dapat diartikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. (Cadbury, 1992)

Walaupun good governance pada awalnya diterapkan dalam dunia bisnis, namun pada hakikatnya hal ini merupakan seperangkat aturan yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh tatanan kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurut Zarkasyi (2008:36), penerapan good governance perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.

Dalam perspektif ini, good governance dipandang sebagai sebuah sistem di mana individu adalah bagian dari masyarakat yang merupakan komponen terkecil namun merupakan inti tempat bermulanya internalisasi dari nilai-nilai positif yang dapat mendukung terciptanya tatanan yang baik untuk tingkatan-tingkatan di atasnya. Di Indonesia, ada lima prinsip good governance yang berlaku umum menurut Komite Nasional Kebijakan Governance, yaitu Transparency, Accountability, Responsibility, Independency, dan Fairness (KNKG, 2006).

Pertama, prinsip Transparency (Transparansi) mengandung arti keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan dalam pengungkapan (disclosure) atas informasi-informasi yang perlu diketahui oleh publik. Kedua, prinsip Accountability (Akuntabilitas) dapat diartikan sebagai sikap amanah setiap anggota masyarakat dalam menjalankan tugas pada fungsi dan posisinya masing-masing. Ketiga, prinsip Responsibility (Tanggung Jawab) dapat diartikan sebagai mekanisme pertanggungjawaban anggota masyarakat terhadap seluruh stakeholders yang berkaitan dengan posisinya. Keempat, prinsip Independency (Independensi) dapat diartikan sebagai kebebasan atau kemandirian dari segala benturan kepentingan dan dari segala bentuk pengaruh atau tekanan. Dengan kata lain, tidak terjadi dominasi atau intervensi dari pihak manapun dalam hal penyampaian kebenaran. Kelima, prinsip Fairness (Kesetaraan) mengandung jaminan atas pemberian hak dan kewajiban yang sama kepada seluruh golongan masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas.

Kelima prinsip di atas sejatinya telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam berupa warisan nilai-nilai luhur kearifan budaya, bahkan telah dituangkan sebagai ideologi negara dalam nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Ironisnya, implementasi atas nilai-nilai luhur tersebut seringkali terabaikan. Bahkan masyarakat semakin permisif atas penyimpangan-penyimpangannya, hingga lama kelamaan nilai-nilai tersebut makin terdegradasi dan pada akhirnya terbentuklah budaya baru yang jauh dari etika dan moral.

Berdasarkan data riset Corruption Perception Index 2010 yang dikeluarkan oleh Transparency International, Indonesia memperoleh skor Indeks Persepsi Korupsi 2,8 dan berada di urutan 110. Angka-angka ini menunjukkan kondisi Indonesia yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Kondisi serupa juga ditunjukkan oleh hasil survey Hong Kong-based Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) di tahun 2009 yang menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup di antara 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi.

Untuk bangkit dari kondisi keterpurukan, diperlukan starting point yang kecil namun berdampak besar bagi seluruh tatanan kehidupan. Apabila seluruh anggota masyarakat peduli dan konsisten terhadap nilai-nilai positif dalam keseharian kehidupannya, maka akumulasi sikap tersebut akan dapat berdampak perbaikan bagi seluruh bangsa ini.

Nilai Kejujuran
Kejujuran adalah landasan utama dari kelima prinsip good governance yang telah disebutkan di atas. Implementasi kelima prinsip tersebut sebenarnya dapat diawali dari konsep yang sederhana, yaitu penanaman kejujuran pada diri setiap individu dalam menjalankan seluruh aktivitas kehidupan sehari-harinya, pada profesi dan posisi apapun.

Sebagai karyawan, jujurkah kita dalam melaporkan pertanggungjawaban pengeluaran perjalanan dinas kita? Jujurkah kita dalam melaporkan nota pembelian barang-barang kebutuhan perusahaan? Jujurkah kita mengakui keterlambatan atau ketidakhadiran kita dalam laporan absensi? Jujurkah kita mengakui kesalahan yang telah kita perbuat dalam pelaksanaan tugas?
Sebagai pedagang dan pelaku bisnis, jujurkah kita dalam menghitung timbangan barang yang kita perjualbelikan? Jujurkah kita dalam penyampaian informasi kepada konsumen mengenai kualitas barang yang kita jual? Jujurkah kita dalam menetapkan harga jual dan meraih keuntungan? Jujurkah kita dalam melaporkan jumlah penghasilan sebagai dasar pengenaan pajak yang harus kita bayarkan?

Sebagai dosen dan guru, jujurkah kita mengakui kesalahan yang kita perbuat ketika menyampaikan materi kepada anak didik kita? Jujurkah kita dalam memberikan penilaian kepada mereka? Jujurkah kita dalam pembuatan karya ilmiah yang menjauhi unsur-unsur plagiarisme? Sebagai mahasiswa dan pelajar, jujurkah kita dalam mengerjakan tugas dan ujian dengan kemampuan dan pemikiran sendiri tanpa meng-copy dari teman yang lain? Jujurkah kita dalam mengakui ketidakhadiran pada perkuliahan dan jam belajar?

Sebagai manusia, pada profesi dan posisi apapun, sudahkah kita jujur dalam berpikir, berkata, dan bertindak? Upaya internalisasi nilai kejujuran pada setiap diri dalam keseharian kehidupan adalah langkah awal dari penegakan good governance bagi tingkatan-tingkatan sub-sistem selanjutnya, sehingga pada akhirnya dapat tercapai kepatuhan yang sistemik bagi keseluruhan tata nilai dalam suatu bangsa. ***

*Artikel ini dimuat di Harian Tribun Jabar pada 31 Januari 2011


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *